Selasa, 09 Oktober 2012

Keadilan gender ditinjau dari q.s. An-nisa’:34 dan 128

Oleh: Sakinah [Mahasiswa TP IAIN Walisongo]

Sudah menjadi harapan setiap pasangan suami istri untuk hidup sejahtera bersama selamanya tanpa menemui hambatan-hamabatan hidup dan perselisihan dalam keluarga. Oleh karena itu untuk mencapai keluarga sejahtera yang telah diidam-idamkan oleh setiap keluarga yang dalam ajaran Islam dikenal dengan keluarga sakinah yang penuh mawaddah wa rahmah (kedamaian, ketentraman, cinta, dan kasih sayang) yaitu yang seluruh anggotanya merasa terpenuhi hak-haknya terutama bagi suami istri.

Paling tidak, “keluarga sejahtera” adalah keluarga dimana setiap anggotanya memahami secara sadar hak dan tanggung jawabnya masing-masing. Hak dan kewajiban seorang istri atau suami terkait dengan tugas dan fungsi masing-masing yang harus dilaksanakan secara sadar dan seimbang. Misalnya, peranan istri untuk menciptakan ketenangan, ketentraman, kasih sayang dalam rumah tangga, harus diimbangi oleh peran suami dalam menjalankan fungsinya sebagai kepala keluarga sesuai petunjuk agama. Namun bagaimana jika suami atau istri melakukan nusyuz? Apabila istri yang melakukan nusyuz, suami bisa menasehati, menjauhkannya di tempat tidurnya dan bahkan memukulnya (QS. An-Nisa’:34) sedangkan suami yang melakukan nusyuz jalan keluar yang ditawarkannya adalah langsung berdamai (QS. An-nisa’:128), yang menjadi pertanyaan dimanakah letak kesetaraan dan keadilan gender? Inilah yang akan kami bahas dalam makalah kami.

PEMBAHASAN
1. Tafsir An-nisa’: 34 dan 128

الرّجال قو مو ن على النسا ء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصّلحىت قنتت حفظت للغيب بما حفظ الله والّتى تخافون نشوزهنّ فعظوهنّ واهجروهنّ فى المضاجع واضربوهنّ فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إنّ الله كان عليّا كبيرا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisa’:34).

Ada tiga kata kunci dalam terjemahan ayat tersebut yang dipandang melegitimasi laki-laki di atas perempuan. Dan selanjutnya, mengarah kepada pemahaman tentang inferioritas perempuan dan superioritas laki-laki. Ketiga kata itu adalah pemimpin, nusyuz, dan pukullah sebagai terjemahan dari kata-kata : “qawwamun, nusyuz,dan wadhribhunna. Yang pertama, diartikan sebagai “pemimpin” yang dilekatkan padanya kekuasaan yang hampir mutlak. Yang kedua, nusyuz, diartikan “pembangkang atau ketidaktaatan istri terhadap isuami”. Dan yang ketiga “pukullah mereka (para istri)”, ketiga pemaknaan ini memperoleh landasan teologisnya dalam kitab-kitab tafsir.

Yang kami tekankan dalam ayat ini mengenai yang kedua dan ketiga, nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya.

Menurut tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab dalam ayat tersebut memberi tuntunan kepada suami bagaimana seharusnya bersikap dan berlaku terhadap istri yang membangkang. Jangan sampai pembangkangan mereka berlanjut dan jangan sampai juga sikap suami berlebihan sehingga mengakibatkan runtuhnya kehidupan rumah tangga. Terdapat tiga langkah yang ditempuh adalah nasihat, menghindari hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan satu dengan yang lain dengan menggunakan huruf ( و) wauw yang bisa diterjemahkan dengan dan. Huruf itu tidak mengandung makna perurutan sehingga dari segi tinjauan kebahasaan dapat saja yang kedua didahulukan sebelum yang pertama. Namun demikian, penyusunan langkah-langkah itu sebagaimana bunyi teks memberi kesan bahwa itulah peruurutan langkah sebaiknya ditempuh.

Yang pertama itu nasehatilah mereka pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh, tidak menimbulkan kejengjekelan. Kedua, (واهجرو هنّ) yang diterjemahkan dengan tinggalkanlah mereka adalah perintah kepada suami untuk meninggalkan istri di dorong oleh rasa tidak senang pada kelakuannya. Hal ini dipahami dari kata hajar, yang berarti meninggalkan tempat atau keadaan yang baik atau lebih baik. Jelasnya, kata ini tidak digunakan untuk sekedar meninggalkan sesuatu itu ia juga mengandung dua hal lain. Yang pertama bahwa sesuatu yang ditinggalkan itu buruk atau tidak disenangi, dan yang kedua, ia ditinggalkan untuk menuju ke tempat dan keadaan yang lebih baik. Jika demikian, melalui perintah ini, suami dituntut untuk melakukan dua hal pula. Pertama, menunjukkan ketidaksenangan atas sesuatu yang buruk dan telah dilakukan oleh istrinya, dalam hal ini adalah nusyuz; dan kedua, suami harus berusaha untuk meraih di balik pelaksanaan perintah itu sesuatu yang baik atau lebih dari keadaan semula. (في المضا جع) yang diterjemahkan di tempat pembaringan, di samping menunjukkan bahwa suami tidak meninggalkan mereka dirumah, bahkan tidak juga di kamar tetapi di tempat tidur. Ini karena ayat tersebut menggunakan kata (في) fi yang berarti di tempat tidur bukan kata min yang berarti dari tempat tidur yang berarti meninggalkan dari tempat tidur. Keberadaan di kamar membatsi perselisihan itu dan, karena keberadaan kamar adalah untuk menunjukkan ketidaksenangan suami atas kelakuan istrinya, yang ditinggalkan adalah hal yang menunjukan ketidaksenangan suami itu. Kalau seorang suami berada di dalam kamar dan tidur bersama, tapi tidak ada cumbu, tidak ada hubungan seks, tidak ada kata-kata manis, itu menunjukan istri tidak lagi berkenan di hati suami. Ketika itu wanita akan merasakan daya kecantikannya tidak akan mempan untuk membangkigairah suami. Dari itulah dihdarapkan keadaan yang lebih baik yang merupakan tujuan hajr dapat dicapai.

Ketiga (واضربوهنّ ) yang diterjemahkan pukullah mereka terambil dari kata dharaba yang mempunyai banyak arti. Bahasa: memukul tapi perintah memukul, dipahami oleh para ulama berdasarkan penjelasan Rasulullah saw. Bahwa yang dimaksud memukul adalah memukul yang tidak menyakitkan. Yang ini merupakan langkah terakhir bagi pemimpin rumah tangga (suami) dalam upaya memelihara rumah tangganya.

Sementara ulama memahami perintah menempuh langkah pertama dan kedua di atas ditujukan kepada suami, sedang langkah ketiga yakni memukul ditujukan kepada penguasa. Atas dasar ini ulama Atha’, berpendapat bahwa suami tidak boleh memukul istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibn al-Arabi mengomentari pendapat Atha’ itu dengan berkata, “pemahamannya itu berdasar adanya kecaman Nabi saw. Kepada suami yang memukul istrinya, seperti sabda beliau: ‘orang-orang terhormat tidak memukul istrinya”.betapa-pun kalau ayat ini dipahami sebagai izin memukul istrinya bagi suami harus diakaitkan dengan hadits-hadits Rasul saw. Di atas yang mensyaratkan tidak menceridainya, tidak juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat.

Sejalan dengan tafsir Ibn Katsir, menjelaskan bahwa “wanita-wanita yang kamu khawatirkan melakukan nusyuz, maka nasehatilah mereka, pisahkan mereka dari tempat tidurnya”. Jika istri tidak meninggalkan perbuatan buruknya setelah kedua tahapan di atas maka pukullah mereka dengan catatan pukulan yang tidak melukai, sebagaimana itu ditetapkan dalam shihain, dari jabir, dari Nabi saw. Beliau bersabda dalam haji wada’ (710), “Bertakawalah kepada Allah dalam uru San wanita, karena keberadaan mereka di sisismu merupakan suatu ujian yang sulit. Yang menjadi hakmu dan kewajiban mereka ialah bahwa mereka tidak boleh berhubungan dengan seorangpun di tempat tidurmu. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan tidak melukainya. Sedangkan mereka berhak mendapat rizki dan pakaian secara ma’ruf”.

Para ahli fikih mengatakan :”pukulan yang tidak melukai ialah yang tidak sampai memecahkan tulang dan meninggallkan bekas”. Hal itu berlaku untuk seorang istri yang benar-benar tidak taat lagi kepada suami. Sedangkan bagi seorang istri yang taat kepada suaminya dalam ayat tersebut disebutkan yakni, jika istri menaati suaminya dalam segala hal yang diinginkan suami agar dilakukan istrinya; segala hal yang dibolehkan Allah, maka setelah itu tidak ada jalan bagi suami untuk mnyudutkannya, memukul, dan menjauhinya ditempat tidur.

Tidak jauh beda dengan tafsir fi zhilalil Qur’an bahwa istri yang nusyuz oleh suami dinasehati, membiarkan di tempat tidur dan dilakukan pemukulan jika kedua cara tadi tidak berhasil. Pemukulan yang dilakukan ini bukanlah untuk menyakiti, menyiksa dan memuaskan diri. Ketiganya tersebut dialakukan atas rasa kasih sayang dalam rangka untuk mendidik. Allah Yang Mahasuci telah menetapkan semua ini dalam suasuana yang kondusif. Ditentukan sifat dan macam kasus serta pemecahannya, ditemukan niat yang menyertainya, dan ditentukan pula tujuan yang melatarbelakanginya. Tidaklah dianggap mengikuti manhaj Allah semua pandangan yang keliru mengenai manusia pada zaman jahiliyah, ketika seorang lelaki berubah menjadi seorang algojo dan seorang wanita berubah menjadi budak atau ketika seorang lelaki beruabah fungsinya seperti wanita dan wanita berubah fungsinya seperti lelaki, atau kedua-keduanya beubah anatara lelaki dan wanita, atas nama agama dan perkembangan pemahaman terhadap agama. Semua ini merupakan aturan yang tidak sulit untuk dibedakan dari ajaran islam yang benar dengan ssegala konsekuensinya dalam jiwa orang-orang yang beriman.

وان امرأة خافت من بعلها نشوزا أوإعراضا فلا جناح عليهما أن يصلحا بينهما صلحا والصّلحا خير وأحضرت الأنفس الشح وإن تحسنوا وتتقوا فإنّ الله كان بما تعملون خبيرا
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[357] atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[358], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[359]. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS.An-Nisa’:128).

Pernikahan, tidak luput dari kesalahpahaman. Jika hal kesalahpahaman tidak dapat diselesaikan sendiri oleh pasangan suami istri, dan perselisihan telah mencapai satu tingkat yang mengancam kelangsungan hidup rumah tangga, ayat ini memfatwakan bahwa : “Dan jika seorang wanita khawatir menduga dengan adanya tanda-tanda akan nuzyuz keangkuhan yang mengakibatkan ia meremehkan istrinya dan menghalangi hak-haknya atau bahkan walau hanya sikap berpaling, yakni tidak acuh dari suaminya yang menjadikan sang istri merasa tidak mendapatkan lagi sikap ramah, baik dalam percakapan atau bersebadan dari suaminya, seperti yang pernah dirasakan sebelumnya dan hal tersebut dikhawatirkan dapat mengantar kepada perceraian, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan antar-keduanya perdamaian yang sebenar-benarnya, misalnya istri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya, dan perdamaian itu dalam segala hal selama tidak melanggar tununan ilahi adalah lebih baik bagi siapapun yang bercekcok termasuk suami istri, walaupun kekikiran selalu dihadirkan dalam jiwa manusia secara umum.”

Ayat di atas menekankan sifat perdamaian itu, yakni perdamaian yang sebenarnya, yang tulus sehingga terjalin lagi hubungan yang harmonis yang dibutuhkan untuk kelanggengan hidup rumah tangga. Imam Syafi’I meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkaiatan dengan kasus putri Muhammad Ibn Malamah yang akan dicerai oleh suaminya, lalu dia bermohon agar tidak diceraidan rela dengan apa saja yang ditetapkan suaminya. Mereka berdamai dan turunlah ayat ini.

PERSPETIF KEADILAN GENDER DALAM SURAT AN-NISA’ AYAT 34 DAN 128 TENTANG NUSYUZ.
Seperti apa yang telah kami paparkan dalam pendahuluan bahwa setiap pasangan suami-istri mempunyai cita-cita untuk menjadikan keluarganya sejahtera. Keluarga sejahtera yakni keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu keluarga di mana setiap anggotanya memahami secara sadar hak dan tanggungjawabnya masing-masing. Dilihat dari persepektif gender Musda merumuskan sejumlah prinsip yang menjadi acuan dalam membangun keluarga sejahtera tersebut, diantaranya :

Pertama, prinsip kesataraan gender. Kesataraan gender adalah kesamaan kondisi bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam seluruh aspek kehidupan, sosial-budaya, politik, ekonomi, dan pendidikan. Suami-istri, dengan demikian, perlu memahami dengan baik perbedaan antara konsep jenis kelamin dan gender. Karena, dewasa ini, status dan peranan perempuan di indonesia dinilai masih bersifat subordinatif dan belum sampai pada posisi mitra sejajar dengan laki-laki.

Kedua, prinsip keadilan gender, yaitu suatu kondisi yang menjamin perlakuan adi terhadap perempuan dan laki-laki. Dalam kehidupan berkeluarga, porsi tugas dan tanggung jawab masing-masing suami-istri hendaknya dibagi secara adil. Yang dimaksud adil di sini tidaklah mesti berarti tugas dan tanggung jawab keduanya sama persis, melainkan dibagi secara proporsional, tergantung dari kesepakatan bersama.

Ketiga, prinsip mawadah warahmah, keluarga sejahtera dibangun di atas prinsip mawadah wa rahmah, enuh rasa cinta, dan kasih sayang diantara anggota keluarga, terutama antara suami dan istri.

Keempat, prinsip saling melindungi dan saling melengkapi. Pasangan suami istri hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa sebagai manusia pasti ada kelebihan dan kekurangannya.

Kelima, prinsip monogami,. Keluarga sejahtera hanya dapat dibangun di atas prinsip monogami, yaitu satu suami dan satu istri.

Namun tidak semua keluarga mencapai cita-cita tersebut. Salah satu perselisihan yang menjadikan penyabab perselisihan tersebut yaitu nusyuz. Nusyuz adalah meninggalkan kewajiban bersuami istri.

Kata “nusyuz” hampir semua ulama mengartikan kata ini dengan ketidakpatuhan istri terhadap suami. Sebagai contoh, tafsir ibn katsir mamknai kata nusyuz dengan “istri melawan, membangkang, dan meninggalkan rumah tanpa izin.” At-Thabari, yang dikutip oleh musda mulia yaitu “perlawanan istri terhadap suami, menolak hubungan badan yang dianggap sebagai ekspresi ketidakpatuhan, kebencian, dan penentangan.

Lain halnya dengan mufasir di atas, Sayyid Qutuhub, mengartikan nusyuz dengan keadaan kacau di antara pasangan suami-istri yang menyebabkan ketidakharmonisan. Karena itu nusyuz dapat diletakkan pada suami atau istri. Artinya, ketidak harmonisan dalam rumah tangga bukan hanya disebabkan oleh istri, melainkan bisa disebabkan oleh suami sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam Q.S. Al-Nisa’ :128.

Lebih jauh, sayyid quthub dalam fi zhilalil al-Qur’an, menjelaskan: laki-laki dan perempuan keduanya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak pernah bermaksud menindas siapa pun dari makhluknya. Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama anggota dari institusi masyarakat yang terpenting, yaitu keluarga.

Selanjutnya, kata “dharaba” dalam “Wadhribuhunna”. Umumnya para muabligh dan mubalighah menjelaskan kata ini secara harfiah “memukul secara fisik”. Dari pengertian harfiah ini, tidak heran kalau ayat ini dipahami sebagai pembenaran bolehnya suami melakukan penganiayaan terhadap istri. Mengapa sebagian besar mufasir memilih arti memukul secara fisik untuk kata dharaba dalam ayat tersebut? Padahal kata itu dalam al-Qur’an dipakai untuk beragam makna. Kata ini dijumpai sebanyak 58 kali dharaba dalam 28 surah :diantaranya 15 surah makkiyah dan 13 surah madaniyah dan tersebar dalam 51 ayat. Pada ayat-ayat tersebut, kata dharaba diartikan dengan “memberi contoh”, “mendidik”, “membuat”, “memukul”, “membunuh”, “memotong”, “menjelaskan”, “meliputi”, dan “berpergian”. Mengapa pilihan mufasir jatuh pada makna memukul dan bukan makna lainnya?

Beda dengan Muhammad Abduh dalam buku muslimah perempuan pembaru keagamaan reformis karya Musda Mulia, Kata “memukul” dalam ayat di atas, yang dimaksud bukanlah makna harfiah yang berarti konotasi penganiayaan atau kekerasan fisik, melainkan dalam makna metaforisnya, yaitu dalam pengertian “mendidik” atau memberi pelajaran”. Perlu digaris bawahi, meski ada sejumlah ulama dan ahli tafsir yang mengartikan kata “memukul” dalam pengertian fisik, hal itu hanya diperbolehkan dalam kondisi yang amat terpaksa. Dengan kata lain, sifatnya hanyalah darurat, dan sama sekali tidak diartikan sebagai anjuran, apalagi satu kewajiban. Untuk itu, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan oleh suami.
Diantaranya:
1). Dilarang memukul dengan menggunakan alat, seperti tongkat dan sejenisnya.
2). Dilarang memukul pada bagian wajah.
3). Dilarang memukul hanya pada bagian satu tertentu.
4). Dilarang memukul yang dapat menimbulkan cidera, apalagi hingga cacat.

Dengan memperhatikan ketentuan seperti ini, para ulama sebetulnya lebih memilih untuk menghindari pemukulan.
Poin ini mendesakkan para ulama, baik yang memahami ayat tersebut secara harfiah maupun secara metaforis, untuk mengambil pertimbangan moral yang manusiawi. Mereka pun sepakat, sikap suami yang menjauhi pemukulan dan tindakan fisik, serta memberi maaf adalah sebuah tindakan terpuji. Dan Muhammad Abduh memberi penegasan bahwa memberi maaf adalah tindakan beradab, dan hanya orang-orang yang tidak beradablah yang memukul istrinya. Bahkan Abduh sendiri menyatakan bahwa sesungguhnya para suami dituntut untuk senantiasa berlaku lemah lembut, kasih sayang dan sopan santun terhadap istri dalam segala situasi.

Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ummu Kulsum binti al-Shiddiq (putri Nabi Saw.) dinyatakan bahwa : “Suami itu dilarang memukul istrinya” (HR. Al-Baihaqi). Secara lebih tegas lagi, Nabi Saw. Menjelaskan bahwa “ yang terbaik diantara kamu adalah mereka yang paling baik perlakuan dan sikapnya terhadap keluarganya”. (HR. Al-tirmidzi).

Jika seorang istri berbuat kesalahan, memberi maaf kepadanya jauh lebih afdal daripada memukulnya. Bukankah terhadap orang lain sekalipun kita diimbau untuk memaafkan kesalahan orang? Sampai-sampai dalam kasus qishash pun memberi maaf adalah tindakan yang paling mulia (QS. Al-Baqarah:178), apa lagi terhadap istri yang telah bersedia hidup mendampingi sang suami hingga akhir hayat. Dalam banyak ayat, misalnya Al-Baqarah:229, Al-Qur’an menghimbau manusia untuk hidup saling mengasihi di antara sesamanya. Bahkan, bukan hanya terhadap sesama manusia mereka dituntut untuk berbelas kasih, melainkan juga terhadap binatang.

Oleh sebab itu, menurut kami harus ada perlakuan yang sama antara laki dan perempuan yang melakukan nusyuz,, sesuai dengan apa yang di ungkapkan oleh Musda, bahwa jika seorang istri melakakukan kesalahan, lebih baik dimaafkan daripada dipukul, sebaliknya suami pun begitu sesuai dengan QS. Al-Nisa’:128. Jadi perdamain itu berlaku untuk siap pun. Apalagi ajaran islam sangat mendukung akan perdamain dan sejahtera.

Karena itu , berlaku kasar terhadap istri, seperti memukul atau menampar dan sebagainya, sangat bertentangan dengan ajaran islam. Islam berkali-kali menegaskan betapa tingginya derajat seorang perempuan, terutama mereka yang berstatus sebgai Ibu sehingga seorang anak diwajibkan untuk mengabdi dan berlaku sopan santun kepadanya (QS. Al-shaqaf:15-17). Demikian pula hadist dinyatakan bahwa ibu adalah manusia yang paling berhak menerima kebaktian dari seorang anak. Bahkan, ibu lebih berhak tiga kali daripada ayah (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Tindakan kekerasan terhadap perempuan, apa pun bentuknya dan siapa pun pelakunya, merupakan perbuatan biadab yang bertentangan dengan ajaran islam. Islam sebagaimana akar katanya, salima berarti “damai dan sejahtera”, pada intinya mengajarkan kepada pemeluknya untuk berlaku lemah lembut, sopan santun, dan penuh kasih sayang. Ini bukan hanya kepada sesama manusia, melainkan juga kepada sesama makhluk sehingga timbul kehidupan harmonis damai dan harmonis di muka bumi, dalam rangka mewujudkan kehidupan bahagia yang kekal di akhirat nanti. Dengan semangat islam yang rahmatan lil ‘alamin ini, ada jaminan bagi hak perempuan untuk membuat interpretasi baru yang selaras dengan tunutunan zaman dan selaras dengan kesadaran kesetaraan objektif bagi masyarakatnya.

Kedua ayat tersebut jangan di lihat sebelah mata, namun harus dipahami secara komprehensip, kapan ayat itu dilaksanakan? Kita harus mengetahui fisologis, psikologis, dan sosiokultural masyarakat pada saat itu. Sehingga tidak terjadi ketimpangan dan kesalahpahaman diantara suami-istri dalam masyarakat.

KESIMPULAN
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Jika terjadi nusyuz suami-istri sebaiknya langkah yang terbaik diadakan perdamaian diantara keduanya. Karena memberi maaf dan perdamaian itu adalah perbuatan yang lebih baik. Kami merujuk dari ajaran islam yang menjunjung tinggi ajaran yang penuh kasih sayang, damai, tanpa kekerasan, rahmatan liil ‘alamin. Kalau pasangan suami istri menyadari hal itu akan terwujud keluarga yang sejahtera seperti apa yang diidam-idamkannya.


DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasion Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ar-rifa’, M. Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Cet K 4, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Sayyid Quthub , Syahid, Tafsir fi zhilalil Qur’an jilid 4, Jakarta: Gema Insani Press, 2011.
Musda, Siti Mulia, Muslimah Perempuan Keagamaan Reformis, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2005.

Jika kamu tertarik dengan blog ini, bantu komen.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

    PSIKOLOGI

    More on this category »

    SUFISME

    More on this category »

    AKTIVITAS

    More on this category »

    SERBA-SERBI

    More on this category »