Senin, 16 April 2012

Jalaluddin Rumi

BIOGRAFI RUMI
Siapa yang tak kenal dengan “RUMI”, penyair sufi yang terkenal dengan karya-karya ketuhanan. Tokoh sufi yang mempunyai nama lengkap Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad Al-Balkhi al-Qununi, dilahirkan pada 6 Rabi’ul awal tahun 604 Hijriyah (1217 M) di Balkha, salah satu wilayah di Afghanistan.
Ayahnya bernama Muhammad, bergelar Bahauudin Walad, tokoh Ulama dan guru besar di negerinya di masa itu, yang juga bergelar Sultanul Ulama. Nasabnya sampai padai sayyidina Abu Bakr Ash-Shiddieq r.a. khalifah pertama yang bijaksana dari sisi ayahnya, dan keturunan Ali bin Abu Thalib, khalifah keempat, dari sisi ibunya. Ia juga berasal dari keluarga bangsawan karena kakeknya Jalal Ad-Din Husain Al-Khatibi menikahi anak perempuan “Ala’ Al-Din Muhammad Khawarizmisyah, tuan putri Malaika Jehan, yang kemudian melahirkan Muhammad Baha’ Al-Din Walad, ayah Rumi.
Baha’ Al-Din Walad adalah ulama sunni yang memegang teguh opini-opini ortodoks dan kecenderungan-kecenderungan tentang antirasionalis. Ia tidak saja menentang para filosof dan rasionalis pada masannya, namun juga berulang kali mengkritik kebijakan-kebijakan politik Sultan. Sekitar tahun 616/1219, Baha’ Al-Din Walad diam-diam meninggalkan kotanya yang bobrok, Balkh dalam rangka melakukan perjalanan haji ke Mekkah. Karena menyadari kemungkinan tidak kembali lagi ia mengajak keluarga dan sejumlah kecil sahabatnya. Kota pertama yang ia kunjungi selama perjalana itu adalah Nishapur, di mana ia bertemu dengan Farid Al-Din Attar, seorang penyair terkenal yang menghadiahkannya salinan karyanya Asar-nameh (kitab misteri-misteri). Ia memberitahu Baha’ Al-Din bahwa putranya “Rumi akan menyalakan api dunia pecinta Ilahi”.
Dari Nishapur ia bertolak menuju Bagdad tempat ia menerima kabar menyedihkan tentang pengepungan Balkh dan penghancuran Jengiz Khan. Pada 617/1220 Baha’ Al-Din meninggalkan Bagdad menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji, dilanjutkan dengan perjalanan menuju Damaskus dan Malatiya (Melitene). Dari Malatiya ia menuju ke Arzijan (Armenia), dan kemudian ke Zaranda, sekitar 40mil dari barat daya kota-Konya, yang menjadi tempat tinggalnya bersama keluarganya selama empat tahun. Di kota Zaranda inilah Rumi menikahi seorang gadis muda bernama Jauhar Khatun, putri Lala Syaraf Al-Din dari Samarqand pada tahun 622/1225.
Kota tempat mereka menetap pada masa itu dikuasai oleh dinasti Salhuk. Raja yang berkuasa “Ala Al-Din Kaykubad, mengundang Baha’ Al-Din dan keluarganya ke Konya, ibukota kekaisaran Saljuk bagian Barat, begitu mendengar kabar tentang kedatangan Baha’ Al-Din di Zaranda. Baha’ Al Din menerima undangan tersebut dan pindah bersama keluarganya ke Konya pada tahun 626/1228. Di sini mereka disambut hangat oleh Sultan di istana kerajaan. Di kota ini Baha’ Al-Din berhasil member kesan yang baik dalam kapasitasnya sebagai seorang teolog, guru dan orator yang hebat. Ia dihormati oleh para muridnya dan sangat dimuliakan oleh Sultan. Kemudian Ia menjadi pembimbing spiritual Sultan. Atas dasar inilah Ia diberi gelar kehormatan Sulthan Al-Ulama (Raja kaum intelektual). Di ibukota tersebut, Baha’ Al-Din mendapatkan kembali kemuliaan dan kedudukannya yang terhormat sebagai guru terkemuka dan orator islam yang cakap hingga akhir hayatnya pada tahun 628/1230.
Sepeningal Baha’ Al-Din, Rumi mengambil alih kedudukan yang ditinggalkan ayahnya sebagai pembimbing para ulama di Konya dan murid-murid ayahnya. Terkesan oleh kedalaman pengetahuan dan keluasan Rumi, Badr Al-Din Gotartasy, seorang guru Sultan mendirikan untuknya sebuah kolose (perguruan tinggi) yang disebut Madrasa-i Khudavandgar. Didalamnya baha’ mengajar dan membimbing Rumi. Sekitar satu tahun setelah wafatnya ayah Rumi, Burhan Al-Din Muhaqqiq Al-Tirmizi, salah seorang murid Baha’ Al-Din, tiba di Konya untuk memberikan beberapa petunjuk baru kepada Rumi.
Atas saran Burhan Al-Din, Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo. Didalamnya terdapat beberapa madrasah yang didirikan oleh Sultan Malikuzzahir, yang membuat kota tersebut terkenal sebagai pusat pendidikan di Damaskus. Di Aleppo, Rumi berdian di madrasah halawiyah dan menerima bimbingan lebih lanjut dari kamal Al-Din bin Al-Azhim.
Di Aleppo Rumi pindah ke Damaskus dan tinggal di madrasah Maqsidiyah. Di sini ia memperoleh kesempatan berharga untuk berdiskusi dengan tokoh-tokoh agung seperti Muhyi Al-Din Ibn ‘Arabi, Sa’ad Al-Din Al-Hamawi, Ustman Al-Rumi, Awhad Al-Din Al-Kirmani, dan Sadr Al-Din Al-Qunyawi.
Pada tahun 364/1236, Rumi kembali ke Konya dan menggeluti pelajaran dan memberikan bimbingan spiritual hingga gurunya, Burhan Al-Din wafat pada 369/1241. Rumi terus mengajar di Madrasa-i Khudavandgar “yang menarik perhatian murid-murid dari berbagai penjuru.” Sekitar 400 murid mengikuti kuliah-kuliahnya sehingga memperoleh perhatian dari para raja, pangeran maupun perdana menteri.
Bertahun-tahun Rumi menikmati ketenaran dan menempati posisi yang sangat terhormat sebagai pemimpin dan ulama ilmu-ilmu agama Islam di Konya, sampai suatu ketika peristiwa palig menentukan dalam kehidupannya terjadi, ia berjumpa dengan darwis misterius yaitu Syam Al-Din Tabriz yang mengunjungi kota tersebut sebagai orang tua berusia 60 tahunan pada tahun 624/1244. Peristiwa ini mendorong Rumi meninggalkan ketenaran dan mengubahnya dari seorang teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik.

KARYA-KARYA RUMI
Kumpulan puisi Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas, mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio.
Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang menyamai.
Ciri khas lain yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan pikiran dan ide.
Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik. Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf, Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah : “jangan tanya apa agamaku. aku bukan yahudi. bukan zoroaster. bukan pula islam. karena aku tahu, begitu suatu nama kusebut, kau akan memberikan arti yang lain daripada makna yang hidup di hatiku”

Jika kamu tertarik dengan blog ini, bantu komen.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar

    PSIKOLOGI

    More on this category »

    SUFISME

    More on this category »

    AKTIVITAS

    More on this category »

    SERBA-SERBI

    More on this category »