Terdapat seorang sufi yang melakukan perbuatan diluar kewajaran agama dan tradisi. Di dalam sufi seorang salik (pelaku ritual kesufian) yang telah mencapai trance (puncak
kondisi sufi hingga lupa akan dirinya) sering melakukan hal-hal diluar
kebiasaan manusia pada umumnya. Kondisi demikian banyak orang
menyebutnya jadzb, yang dalam dunia sufi ini dijadikan sebagai tanda atau bukti derajat kewalian.
Istilah
wali banyak dikembangkan oleh kaum syi’ah, karena erat hubungannya
dengan pemberian wahyu yang melingkupi mereka. Puncak dari wali adalah
‘Ali Ibn Abi Thalib, sementara imam Syi’ah yang diyakini ma’shum juga dinggap wali. Namun demikian, kaum sunni juga meyakini adanya wali. Hanya saja, wali di kalangan sunni tidak ma’shum, akan tetapi ada istilah lain yaitu mahfuzh. Kaum sunni tidak pernah berpendapat bahwa selain nabi atau rasul adalah ma’shum.
Dalam
bingkai epistemology Islam, sufi merupakan salah satu kekayaan khasanah
intelektual Islam. Untuk memahami pernyataan-pernyataan atau tingkah
laku para sufi, kita harus menggunakan perspektif yang sama, agar
hasilnya menjadi lebih obyektif. Dalam literatur tasawuf ada dimensi
ruhani dan dimensi jasmani. Dimensi ruhani diartikan sebagai sifat-sifat
ketuhanan yang ada di dalam diri manusia seperti kasih sayang, mahabbah
atau kesucian. Sedangkan dimensi jasmani Tuhan atau dimensi kemanusiaan
Tuhan bahwa manusia adalah makhluk yang paling mulia di sisi Tuhan yang
pada dasarnya manusia adalah perwujudan dari Tuhan di bumi.
1. Eksistensi Jadzb dalam Tasawuf
Jazdb sebagai jalan spiritual seorang salik, menuju pengalaman rohani yang lebih tinggi ketimbang melalui jalur tarekat. Jadzb merupakan keniscayaan yang harus dijalani manusia, artinya bukan pilihan hidup. Kata Jadzb berasal dari kata kerja Jadzaba, yang
berarti menarik, memikat, dan menawan (hati), memindah dari suatu
tempat, cepat, atau sebuah jarak. Dalam al-Qur’an terdapat dalam surat
Al-Syura’13 yang sering digunakan sebagai arhumentasi oleh para ulama;
Para ulama sering mendifinisikan jadzb dengan tarikan Ilahiyah pada
seorang hamba yang Dia kehendak, agar hamba itu lebih dekat kepada-Nya
dengan mendapat pertolongan-Nya secara langsung tanpa ada usaha atau
susah payah (anugerah/minnah) dan kehendak (masyi’ah). Bentuk jadzab ada dua, yakni yang sadar dan tidak sadar artinya Ada jadzb yang dirasakan dalam batin dan tidak nampak, dan adapula yang terlihat dari luar.
Jazb dalam tasawuf, secara umum, ada yang muktasab (dapat diusahakan atau diperoleh) dengan jalan mujahadah dan ada yang ghayr muktasabm (tidak dapat diusahakan) atau merupakan minnah dan masyi’ah langsung dari Allah.
Berkaitan dengan wali majdzub-yaitu seorang wali yang mendapat tarikan Ilahiyyah dengan minnah dan masyi’ah-Nya,
sebagai bentuk cara menjadi wali lebih cepat, ia juga mempunyai
pengalaman keberagaman, yang secara otomatis mempunyai kesadaran mistis.
Kesadaran Spiritual
Kesadaran
batin yang paling dalam merupakan perkembangan jiwa manusia yang
sempurna. Dimana seorang sufi mampu melihat Allah melalui Allah, dan
hanya Allah-lah yang merupakan kesadarannya yaitu berisi pengetahuan
tentang realitas-realitas yang berlapis-lapis, yang terangkum dalam
ke-Esaan Allah SWT. Kesadaran batin terdalam ini yang juga aspek
terdalam hikmah, yaitu
sebuah kesadaran dimana para sufi merasakan dan mendapat kenikmatan di
dalamnya. Dan dengan kondisi itu, mereka menjadi bahagia, yang tidak
dapat dilihat oleh akal.
Menurut Al-Ghozali, kesadaran hati manusia ada dua. Pertama yaitu kesadaran terhadap alam malakut (berhubungan dengan al-lawh al-mahfuzh dan alam malaikah). Alam ini hanya dapat dipelajari dengan penuh keyakinan, dengan mengangan-angan pada aja’ib al-ru’ya (keajaiban mimpi). Kedua, yaitu
kesadaran terhadap alam empiris, maksudnya bahwa hati mampu memahami
dan merespon terhadap semua informasi yang diberikan oleh panca indera.
Bernard Spilka dkk, telah membuat sebuah table menarik berisi mode of consciousness (bentuk
kesadaran) yang dikaitkan dengan frekuensi gelombang otak yang didapat
melalui sebuah penelitian keasadaran manusia saat melakukan meditasi
atau ibadah dengan menggunakan electroda.
Frekuensi Gelombang Otak
|
Bentuk Consciousness
|
Beta (di atas 13 cps*)
|
Pikiran masih aktif dengan mata terbuka yang berorientasi pada external world (dunia luar)
|
Alpha (8 hingga 12 cps)
|
Santai, namun masih sadar. Mungkin mata tertutup dan berorientasi pada internal world (dunia dalam)
|
Theta (4 hingga 7 cps)
|
Mengantuk dan merasakan mimpi yang berubah-ubah, bagai angan-angan yang mungkin terjadi.
|
Delta (hingga 4 cps)
|
Tidur yang pulas. Seseorang mempunyai consciousness, meskipun ia tidak menyadari atau tidak sadar.
|
* cycles per second = putaran per menit
Dari segi brain wafe-nya, seorang wali majdzub yang berada dalam kondisi terpesona dengan keindahan Tuhan serta melayang dalam keesaan Tuhan, dapat dikatakan dalam tingkatan alpha dan theta.
Wali Majdzub, jika
dilihat dari kesadarannya, mereka ada yang masih sadar dengan
eksistensi dirinya, dan ada yang kehilangan control kesadaran normalnya.
Bagi wali majdzub wali majdzub yang masih mempunyai kesadaran dan kekuatan mental serta kesiapan menerima jadzab, maka dia akan tetap sadar terhadap eksistensi ciptaan Allah dan dirinya, mampu berpikir secara rasional, dan mempunyai mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia Ilahiyyah) baginya. Atau dengan kata lain, di bisa mengakses alal malakut dan alam hissi. Dalam bahasa psikologi, SoC (state of consciousness) dan ASoC (altered state of consiousness) orang tersebut sama-sama berfungsi dengan baik. Sehingga ada keseimbangan yang menyebabkan adanya keutuhan kesadarannya.
Berbeda dengan wali majdzub yang
kehilangan control kesadarannya, yang sudah tidak sadar terhadap
fenomena social yang ada di sekitarnya, kesadaran mereka lebih condong
dan didominasi oleh alam malakut, malakut, yang tidak diketahui
oleh banyak orang. Jika dilihat, orang semacam ini, kesadaran ASoC-nya
lebih besar dan mendominasi daripada SoC. oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika ada wali majzdub yang tidak puasa di bula
Ramadhan atau meninggalkan shalat fardhu. Menurut al-Dabusi , kondisi
seperti ini merupakan tingkatan yang terakhir yang menyebabkan
linglung-bingung dengan mabuk, yaitu sakrah li al-mahabbah (mabuk cinta yang berasal dari ma’rifat Allah yang sejati), sakrah al-khasyyah (mabuk karena takut, yang timbul dari pengetahuan hamba tentang dirinya dengan sifat-sifat-Nya), sakrah al-humiyyah (mabuk karena semangat yang menggelora yang berasal dari keyakinan kewajiban taat terhadap perintah dan larangan Allah), dan sakrah al-minnah (mabuk
karena anugerah, yang berasal dari keyakinan bahwa berbuat baik adalah
dari Allah SWT). Kemudian jika mereka telah kembali dari alam kesatuan
menuju alam eksistensi ciptaan dan sadar terhadap eksistensi dirinya,
maka seluruh perbuatan mereka bisa dipertanggung jawabkan dan
ajara-ajaran syariat yang ada juga kembali berlaku pada mereka.
Kisah-kisah wali majdzub
Pertama, mereka yang cenderung lebih terlihat karamahnya di sisi manusia:
1) Syaikh Baha’ al-Din al-majzdub ra. Beliau termasuk dalam jajaran ahli ma’rifat tingkat tinggi. Ilmu mukasyafah-nya
tidak pernah salah dan sangat masyur di kalangan pejabat Mesir dan
kalayak umum. Apabila beliau memprediksi seseorang akan menjadi
pemimpin, atau dipecat dari jabatannya, maka terjadilah apa yang ia
katakana itu.
2) Sayyid al-Syarif al-majdzub ra, beliau bersikap seperti orang gila berada di rumah sakit jiwa al-Manshiri. Meskipun demikian, beliau mempunyai kasyf dan
menguasai persoalan-persoalan berat atau kesusahan orang-orang yang
mengingkari eksistensinya. Suatu ketika beliau pernah menyembuhkan sakit
yang diderita seseorang yang sudah berlangsung selama lima puluh tujuh
hari, yang disebabkan oleh makan roti yang beliau kirimkan pada
al-Sya’rani. Selain itu, Sayyid Syarif dengan terang-terangan menelan
rumput-rumput kering yang ada. Namun aneh, suatu hari mereka menemukan
rumput yang dimakan sang Syaikh terasa seperti manisan. Beliau juga
diberi oleh Allah sebuah pengetahuan yang dapat membedakan antara
orang-orang celaka dan orang-orang yang beruntung di dunia ini.
3) Syaikh ‘Abd al-Al al-majdzub ra,
yang dimakamkan dekat dari Qantharah. Saat mendekati kematiannya,
beliau sudah mengetahui tempat di mana dia akan meninggal dan
dikebumikan. Dan terjadilah peristiwa itu sesuai dengan apa yang beliau
katakana.
Kedua, wali majdzub yang melakukan kemungkaran dan meninggalkan serta melanggar syari’at:
1) Syaikh Ibrahim al-uryan, beliau
berkhutbah dengan telanjang bulat. Meskipun demikian, seusai dia
khutbah, banyak orang yang merasa gembira. Dan saat sadar, ia sangat
halus dan sopan berbicaranya, hingga orang-orang di sekitarnay enggan
meninggalkannya.
2) Sayyid Ibrahim al-majdzub ra, yang terkenal dengan sebutan al-Syaikh Ibrahim al-nubah, yang
suka dengan tabuhan gendang atau tiupan seruling. Beliau selalu
memberikan uang yang dihasilkannya kepada penabuh gendang, seraya
berkata: “tabuhlah gendang untukku. Tiuplah seruling untukku.”
3) Syaikh Ahmad, yang dipanggil dengan sebutan Hamdah al-majzdub al-shahi. Beliau
selalu berada berada di antara wanita tuna susila (WTS) di Bab
al-Futuh. Namun diluar dugaan, mayoritas wanita itu mati sudah dalam
keadaan taubat, karena barakah-nya wali Ahmad. Bahkan tak jarang mereka justru menempati jenjang-jenjang spiritual tertentu.
2. Membongkar Wali Majdzub dalam Pandangan Ulama dan Psikologi
Pandangan Ulama
Dalam merespon wali majdzub, para ulam berbeda-beda pendapat. Ada yang menolak dengan keras, namun ada juga yang menerimanya dengan penuh apresiasif.
Golongan yang menolak mentah-mentah antara lain:
- Abdurrahman Abdul Khaliq. Dia bersikap demikian karena hanya melihat sisi luar dari perbuatan yang dilakukan oleh wali majdzub yang
melanggar batas-batas syari’at, seperti minim-minuman keras, bergaul
dengan para WTS dan berdansa dengan mereka, dan mengumbar nafsu
kebinatangan di hadapan manusia. Bahkan dia menyebut wali majdzub
sebagai orang yang ingin merusak ajaran al-Qur’an dan hadis, dengan
memasukkan ajaran sesatnya itu ke dalam Islam, disamping membuat
argument-argumen yang membela posisi dan perbuatannya, hingga
seolah-olah benar menurut syariat dan menganggapnya sebagai orang yang
mengaku dirinya jadzb.
- Ibn Taimiyyah juga menolak keras, bila seorang majnun (gila)
dikatakan sebagai seorang wali. Karena seseorang dapat dikatakan wali,
jika ia konsisten dalam menjalankan ajaran al-Qur’an dan hadis atau
mengikuti syariat Islam. Sedangkan orang majnun, semua amal kebaikannya, keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah tidak akan diterima. Karamah yang ia miliki, adalah kekuatan yang bersumber dari setan.
- Fazlur Rahman memandang bahwa eksistensi para wali majdzub adalah
orang-orang yang lain hanyalah sebagai penyeleweng-penyeleweng
spiritual. Yaitu syeikh-syeikh sufi yang bergaya sulap tukang obat,
pengemis parasitis, dan para darwis tukang pemeras orang yang juga
sebagai juru bicara agama Islam.
Adapun tokoh yang mengapresiasi wali majdzub dengan penuh bijaksana diantaranya adalah Ibn Atha’ Allah, al-Hakim al-Tirmidzi, dan Mihrabi, dengan berbagai alas an:
- Wali majdzub bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran amar ma’ruf nahi munkar. Terlihat ketika sering bergaul dengan WTS.
- Ilmu mukasyafah-nya dapat memberi manfaat pada diri dan lingkungannya
- Setisp kejadian yang mereka lakukan bersifat simbolis, yang sulit diterima seketika, dan membutuhkan penalaran lebih jauh.
Dari seluruh sikap luar yang nampak pada wali majdzub jika dikaitkan dengan ajaran-ajaran tasawuf, mereka dapat digolongkan sebagai golongan malamatiyyah yakni golongan yang tidak pernah menampakkan perbuatan baik atau menyimpan kejelekan dalam hati mereka.
Pandangan Psikologis
Untuk mengidentifikasi seseorang, apakah sedang mengalami jadzb atau mengidap penyakit psikologis, sangatlah sulit. Karena keduanya berbeda permasalahannya, yakni berupa pengalaman keagamaan (religious experience) yang bersifat dzawqiyyah (perasaan),
yang bersifat psikologis. Diantara penyakit psikologis yang
indikatornya ada kemiripan dengan apa yang dialami oleh wali majdzub antara lain: stress, depresi, psikosa, psikoneurose, dan psikopat.
Stress adalah
gangguan yang ditandai dengan besarnya semangat, tajamnya penglihatan
tidak seperti biasanya, energy dan gugup yang berlebihan. Secara umum, stress menunjukkan manifestasi di bidang fisik dan psikis, yakni berupa kelelahan dan kecemasan sertqa depresi. Depresi
adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan, yang
ditandai dengan kemurungan, kelesuan, tidak ada gairah hidup, perasaan
tidak berguan, dan putus asa. Psikosa fungsional adalah sebuah
penyakit mental yang cukup parah yang disebabkan oleh factor-faktor
non-organis, dan ditandai oleh disorientasi fikiran, gangguan emosional,
halusinasi, dan delusi. Psikoneurosis hakikatnya bukanlah
penyakit. Akan tetapi yang diderita adalah ketegangan pribadi yang
berjalan secara terus menerus, yang diakibatkan oleh konflik-konflik
dalam diri orang tersebut yang tidak dapat diatasi. Psikopat, yaitu
kelainan tingkah laku yang ditandai dengan anti social. Penderitanya
mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri di lingkungannya.
Wali majdzub jika
dilihat dari segi perbuatan lahiriyyahnya, dapat dikatakan telah
mengidap penyakit gangguan jiwa. Dia dapat dikatakan sedang mengalami stress tingkat III atau IV bahkan depresi. Dan secara umum, para wali majdzub dikatakan sebagai orang gila. Namun, apakah memang demikian. Bagi seorang wali majdzub yang tidak sadar hingga menampakkan aktivitas abnormal dikarenakan karena kesadarannya berada dalam keesaan Ilahi.
Di samping itu, mereka melihat realitas yang ada sebagai satu kesatuan
yang utuh. Sehingga sudah tidak ada perbedaan apapun baginya. Semuanya
sama, hanya Allah-lah yang ia lihat. Berbeda dengan penyakit jiwa yang
ditimbulkan oleh problematika kehidupan yang tidak dapat diatasinya,
yang mungkin sangat menekan atau menghimpitnya, baik bersifat psikologis
atau yang lain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengalaman batin yang dialami oleh wali majdzub dan orang yang mengidap penyakit jiwa jelas sangat berbeda. Pengalaman spiritual wali majdzub lebih
terarah dan teruji validitasnya, dan jauh lebih sempurna, daripada
pengalaman batin seorang pengidap penyakit jiwa yang cenderung ngelantur
dan tak terarah.
Kesimpulan
Berangkat dari perdebatan para ulama tentang wali majdzub, dengan
berbagai argumentasi yang melatarbelakanginya, maka sebaiknya, ketika
ingin mengetahui dan menilai sesuatu hendaknya dilihat secara
komprehensif dan obyektif dari berbagai segi. Sehingga disitu,
diharapkan akan melahirkan pemikiran positif-konstruktif-solutif atas
permasalahan yang ada.
Bagi kita, dalam mensikapi wali majzdub sebagaimana tersebut dia atas, yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan sikap husn al-zhan, berbaik sangka (positive thinking) terhadap semua orang yang kita jumpai, tak terkecuali kepada wali majdzub. Karena
apa yang kita anggap baik, belum tentu baik menurut Allah, dan apa yang
kita anggap jelek, belum tentu jelek dalam pandangan Allah. seringkali
kita saat memperhatikan orang lain, kita terpengaruh oleh tampilan luar
yang kamoflase sifatnya dan penuh kepalsuan. Karena, ditinjau
dari jenis pengujian validitas kegilaan sufi dapat dimasukkan ke dalam
kelompok otoritas. Artinya, bahwa pengetahuan tentang kegilaan sufi
merupakan sebuah pengetahuan yang hanya dapat diperoleh dari orang yang
pernah mengalami kegilaan atau jadzb itu sendiri (la ya’rifu al-wali ila al-wali), sehingga pengetahuan tentang kegilaan sufi ini akan menjadi sangat absurd ketika diambilkan dari orang yang tidak pernah mengalaminya.
Oleh: Endah Endrayani [TP 2008]
Oleh: Endah Endrayani [TP 2008]
0 komentar:
Posting Komentar