Menurut kaum sufi
cinta adalah kekuatan
yang paling aktif dan paling kuat di dunia ini. Cinta selalu mengaktifkan kita.
Kita beranggapan bahwa kita adalah pencipta dan penguasa hidup kita, tetapi
tindakan kita tidak lain merupakan pertanda kecil dari suatu proses yang besar
dan ghaib. Kita mengetahui hanya satu penggalan yang dapat dilihat, sedang sisi
yang ghaib sangat sedikit yang kita ketahui seperti anak-anak, kita tidak sadar
akan semua kekuatan dan factor yang menjaga kita, menyayangi kita, membimbing
kehidupan dan dunia kita
Arti Dan Dasar-Dasar Cinta
Dalam pandangan Rumi,
cinta itu sebagai dimensi pengalaman rohani, bukan dalam pengertian teoritis
sepenuhnya “mengendalikan” keadaan batin dan “Psikologis”. Ia tidak dapat
diterangkan dengan kata-kata, tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman.
Sebagaimana halnya seseorang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya,
kata-kata tidak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas.
Apalagi cinta seorang sufi pada kekasihNya yang tidak melampaui dunia, tapi juga dunia yang akan
datang dan segala sesuatu yang terjangkau oleh imajinasi.
Tuhan adalah mata air cinta, sebagaimana Dia adalah sumber segala yang ada. Para sufi biasanya
mengutip ayat berikut ini. Yang berbicara tentang hubungan antara cinta tuhan
kepada manusia dan cinta manusia kepadaNya; “Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang dia mencintai mereka
dan mereka mencintainya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang mukmin, dan
keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihat di jalanya yang tidak risau
oleh celaan orang yang suka mencela” (Qs. al Ma’idah:54).
Dalam al qur’an juga banyak sekali ayat-ayat menerangkan tentang cinta. Seprti:
Artinya: “ Dan di
antara manusia ada orang-orang yang meyembah tandingan-tandingan selain Allah,
mereka menciantainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cinya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa {pada
hari kiamat}. Bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksanya. (QS al Baqarah:165).
Pada ayat di atas, Allah memulai uraianya dengan berfirman “Diantara manusia ada
orang-orang yang berfirman” diantara manusia ada orang yang meyembah
tandingan selain Allah, baik itu berupa pemimpin mereka. Pandangan
tandingan-tandingan tersebut adalah ciptaanya. Maksud “menyembah” disini lebih khusus sebagai
mencintai yakni taat kepadanya serta berkorban untuknya, layaknya mencintai
Allah.
Dasar-dasar Cinta
Menurut al-Gazali, ada tiga
hal yang mendasari tumbuhnya cinta:
1.Cinta tidak akan
terjadi tanpa proses pengenalan {ma’rifat} dan pengetahuan
2.Cinta terwujud
sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan
3. Manusia tentu
mencintai dirinya
Hal yang pertama di
cintai makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta
kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan
membinasakan kelangsungan hidupnya.
Al-Gazali juga
menguraikan lebih jauh tentang hal-hal yang menyebabkan tumbuhnya cinta. Pada
giliranya, sebab-sebab tersebut akan mengantarkan seseorang kepada cinta
sejati, yaitu cinta kepada tuhan yang maha mencintai.
Sebab-sebab itu
adalah sebagai berikut:
a.
Cinta
kepada diri sendiri, kekekalan,
kesempurnaan, dan keberlangsungan hidup. Orang yang mengenal diri dan tuhannya tentu ia pun
mengenal bahwa ia sesungguhnya tidak memiliki diri pribadinya. Eksistensi
dan kesempurnaan dirinya adalah tergantung kepada tuhan yang menciptakanya.
b.
Cinta kepada orang yang berbuat baik
Hal ini merupakan
watak alamiah manusia untuk menyukai kebaikan dan membenci kejahatan. Namun
pada dataran manusia, pada hakekatnya kebaikan adalah sesuatu yang nisbi.
Karena sesungguhnya, setiap kebaikan yang di laksanakan oleh seseorang hanyalah
sekedar menggerakkan motif tertentu, baik motif duniawi maupun ukhrawi.
c.
Cinta kepada setiap keindahan
Segala yang indah
tentu di sukai, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Segala keindahan
itu pun akan berujung pada keindahan tuhan yang sempurna. Namun keindahan tuhan
adalah keindahan rahaniah
yang hanya dapat dirasakan oleh mata hati dan cahaya batin.
B.
Cinta Illahi Rabi’ah al Adawiyah
Yang dimaksud “cinta
illahi” menurut Rabi’ah al Adawiyah mempunyai dua aspek: salah satunya adalah
hasrat tuhan kepada mahklukNya, pada aspek lainya cinta tuhan adalah hasrat mahkluk kepada
tuhan. Jadi, cinta berada secara kekal sebagai suatu pertukaran, suatu
pergiliran antara tuhan dan mahkluk: hasrat yang kuat, kerinduan untuk berbagai
derita, perjumpaan yang ada secara abadi dan membatasi wilayah wujud. Baik
secara sadar maupun tidak sadar. Cinta yang di gerakkan oleh keindahan mengarah
ketuhan saja sebagai objeknya sebab tuhan itu wujud indan yang mencintai
keindahan, dan yang dalam penyingkapan diri kepada dirinya telah menghasilkan
alam sebagai cermin untuk merenungi bayanganya sendiri, keindahanya sendiri dan
kalaupun terurat bahwa” tuhan akan mencintamu” {Qs. Al Imran:29}, karena dia
mencintai dirinya dalam dirimu, segala cinta akan terlihat dan akan di juluki “Ilahiah” cinta yang
merupakan tiga cara berwujud.
a.
Cinta Ilahiah
Cinta Ilahiah adalah cinta khalik kepada mahluknya
diamana dia mencptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia
mengungkapkan dirinya, dan pada sisi lain cinta mahkluk kepada khaliknya, yang
tidak lain adalah hasrat tuhan yang tersingkap dalam makhluk, rindu untuk
kembali kepada Dia,
setelah dia merindukan sebagai tuhan yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri
makhluk inilah dialog abadi antara pasangan illahi manusia.
b.
Cinta Spritual
Cinta spritual terletak yang senantiasa mencari wujud dimana
bayangannya dia cari di dalam dirinya, atau yang di dapeti olehnya bahwa
bayangan (citra) itu adalah dia sendiri, inilah dalam diri mahluk, cinta yang
tidak mepedulikan, mengarahkan atau menghendaki guna dilakukan bersama-sama
oleh sang fadlenya.
c.
Cinta Alami
Yang berhasrat untuk
memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan
kekasih “dan sayangnya” kata Ibn Arabi, “seperti inilah kebanyakan orang yang
memahami cinta pada masa kini.
3.
Aplikasi Cinta Illahi
dalam Kehidupan
Seperti
cinta kepada sesama
mahkluk.
Cinta manusia dapat
di bagi
menjadi dua:
a.
Cinta
sejati atau cinta pada tuhan
b.
Cinta
imitasi atau cinta terhadap segala yang selaiNya, tapi dalam pengujian yang lebih
dekat, orang melihat semua cinta sesungguhnya adalah cinta kepada tuhan, karena
segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayangnya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis
cinta tersebut dikarenkan orang memahami yang ada hanyalah tuhan dan cinta
untuknya semata.
Cinta kepada yang
selainya tapi berasal dariNya akan membawa orang kepadaNya, setiap objek keinginan dari orang
per orang akan menunjukkan kepalsuanya, dan orang akan mengalihkan cintanya,
namun bagaimanapun juga setiap hasrat {cinta} tidak akan menemukan kekasih
sejati kecuali
setelah kematian, manakala dia sudah terlambat menutup jurang keterpisahan. Bagi seorang sufi,
hanya ada satu yang tercinta, dia melihat bahwa semua cinta “palsu” beku dan
tidak nyata.
Segala harapan, hasrat, cinta, dan kasih sayang yang dimiliki orang, beraneka
ragam seperti, para ibu dan sahabat, langit, bumi, kebun-kebun, istana-istana
dan pekerjaan. Orang suci melihat bahwa semua hasrat terhadap sesuatu dan tuhan
adalah tabir. Manakala manusia telah meningglkan dunia ini dan melihat raja
tanpa tabir, mereka akan tahu bahwa segala yang ada ini selubung semata dan objek dari
hasrat-hasrat mereka itu adalah satu hal.
Segala
yang ada di dunia, kekayaan, wanita, pakaian dan yang lainya di maksudkan demi
sesuatu yang lain. Maka segala sesuatu yang saling berkaitan satu dengan yang
lainnya. Sebagai sarana menuju tuhan, dia yang hanya berhasrat bagi dirinya sendiri. Dia
lebih baik dari segala sesuatu lebih mulia dan lebih meyenangkan dari apapun
juga.
Penyebab cinta adalah keindahan {jamal}yang merupakan miliknya tidak ada
tindakan memperindah kecuali dari Allah dan tidak ada yang menjadikan indah
kecuali Allah.
Referensi:
·
Kabir Helminski, Hati Yang Bermakrifat, Bandung: Pustaka hidayah, 2002,
hal 59.
·
Wiliam C.chittick, Jalan Cibta Sang Sufi, Yogyakarta: Penerbit Qalam,
2002. hal 291
·
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al qur’an,
Volume 1, Jakarta : Lemtera hati, 2009, hal 449.
·
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn Arabi, Yogyakarta, LKIS, 2002, hal
184.
·
http://ra.cheedus.com/makalah/konsep-cinta-mahabbah-dalam
tasawuf/8/10/2010
0 komentar:
Posting Komentar